Posted by : Unknown
Sabtu, 20 September 2014
Bagi beberapa orang, barangkali mempelajari filsafat menjadi hal yang cukup menyita waktu. Bukan saja karena cakupannya yang sangat luas, tetapi juga kesan terhadap studi filsafat seringkali cenderung terlalu berat dan dianggap sebagai ilmu yang istimewa, sehingga hanya orang-orang tertentu yang mau dan mampu mempelajarinya. Di lain sisi, ada pula yang berpendapat bahwa filsafat tidak lebih dari sekedar lelucon tidak bermakna alias “omong kosong” karena ia seringkali membahas hal-hal yang jauh dari memiliki kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam lingkup kehidupan beragama, beberapa kalangan ulama ada pula yang menganggap filsafat sebagai ilmu yang menyesatkan keimanan umat Islam, dan telah memperpuruk peradabanfiqhiyah Islam. (JH. Rapar, 1996) Sehingga tidak sedikit dari mereka yang mengharamkan umat Islam untuk mempelajari filsafat. Bahkan, pemahaman seperti ini kembali mengemuka di akhir-akhir ini, terutama muncul dari mereka yang mengklaim dirinya sebagai jama’ah bermadzhab salafi.
Tetapi, lupakah kita bahwa dalam pergaulan sehari-hari, kita sering mendengar orang mengatakan “Falsafah hidup saya adalah…”, atau “Sebagai seorang pengusaha sukses ia memiliki falsafah hidup…” barangkali ada pula yang menyatakan “Dalam hidup ini, saya berpegang teguh pada prinsip hidup….” Serta masih banyak pula contoh lainnya yang merujuk pada sikap, pandangan, gagasan, yang dipegang teguh seseorang dalam menghadapi segala persoalan di dalam hidupnya.
Pengalaman keseharian di atas menunjukkan bahwa sebenarnya berfilsafat dan obyek studi filsafat berada pada pengalaman kehidupan yang dialami oleh si pemikir. Tetapi perlu dicatat bahwa bukanlah filsafat itu sama dengan berfikir. Berfilsafat memanglah mengaktifkan aktifitas berfikir, tetapi belum tentu setiap aktifitas berfikir disebut sebagai aktifitas filsafat. Aristoteles yang termasuk barisan filosof awal mengatakan bahwa aktifitas filsafat bermula dari suatu rasa kagum (thauma) dari sang pemikir atas hal-hal yang dialaminya, dan diteruskan dengan beberapa prinsip dan asas dalam berfilsafat, antara lain:
- Menghilangkan paham ‘Saya lah yang paling tahu!’
- Menaruh kesetiaan sepenuhnya terhadap kebenaran
- Bersungguh-sungguh dalam memahami suatu persoalan dan berusaha mencari jawaban
- Setia dan tidak mengenal lelah untuk mempraktikan ‘berfikir mendalam’
- Terbuka terhadap setiap kemungkinan kebenaran yang baru (Mustansyir, 2009)
Filsafat seringkali disebut sebagai ibu dari semua ilmu (mater scientiarum). Statemen ini dapat dibuktikan, setidaknya dengan skema sejarah munculnya ilmu-ilmu menyatakan bahwa kajian para filosof di era awal yang sangat luas berimplikasi pada munculnya ilmu-ilmu pada era selanjutnya. Psikologi, salah satu ilmu yang di era modern dikelompokkan pada kajian humaniora, adalah salah satu disiplin ilmu yang juga memiliki keberlanjutan sejarah dan pemikiran dengan ‘sang induk segala ilmu’. (Suriarumantri, 2003)
Beberapa azas berfikir filsafat di atas juga tercermin dalam filsafat ilmu yang dapat dipahami sebagai suatu bentuk pemikiran terhadap ilmu secara mendalam (filosofis) dan bersifat refleksi lanjutan terhadapnya. Dengan kata lain, jika berbagai disiplin ilmu lain (mis. Sosiologi, psikologi, sejarah, dll) melakukan penyelidikan pada problem dan obyek studi secara khusus, maka tugas filsafat ilmu merupakan suatu penyelidikan lanjutan terhadapnya, sehingga memungkinkan bagi kita untuk memahami kesalinghubungan antara obyek, metode dan pendekatan ilmiah yang digunakan. Secara singkat, perbedaan filsafat ilmu dengan disiplin ilmu lain terletak pada perannya mempersoalkan azas serta alasan apakah yang menyebabkan suatu ilmu dapat menyatakan dirinya sebagai suatu pengetahuan “ilmiah”. (Beerling, 1990)
Secara umum filsafat ilmu memberikan landasan umum filosofis dari setiap ilmu dapat dipersingkat melalui tiga pertanyaan penting; apa yang ingin kita ketahui? Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan? Dan apakah nilai pengetahuantersebut bagi kita?
Dengan pengertian diatas, maka keterhubungan psikologi dengan filsafat dapat dipelajari lebih jauh. Psikologi sebagai bidang ilmu yang secara khusus bersinggungan langsung dengan obyek studi yakni manusia, mendapatkan refleksi sekunder dari analisa kefilsafatan. Tujuan dari analisa sekunder ini untuk memahami apa yang menjadi orientasi global serta kerja khusus dari ilmu psikologi itu sendiri. Filsafat ilmu juga membahas mengenai metodologi; pertayaan seperti apa yang disebut dengan ilmiah, dari mana sumber ilmu diperoleh, apa saja nilai yang dibawa oleh suatu ilmu?
Inilah yang ingin kita ketahui dalam filsafat ilmu, bagaimanakah studi psikologi, misalnya, disebut sebagai studi ilmiah? Sudahkah penelitian psikologi memberikan kebaikan bagi manusia?
Nah, dari pertanyaan-pertanyaan terakhir ini, masihkah kita mengikuti kesalahpahaman bahwa filsafat adalah “omong kosong”, benarkah ia adalah pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengantarkan umat Islam pada kufur? Dan sebaliknya? Bukankah pertanyaan terakhir yang disebut juga merujuk pada kegiatan keseharian yang akan dan kita hadapi selama perkuliahan di jurusan tercinta ini?
Dirangkum dari:
- Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu
- JH. Rapar, Pengantar Filsafat
- Beerling, et.al, Pengantar Filsafat Ilmu