MASALAH DAN KRITERIA MASALAH DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
A. Pengertian dan Ciri-Ciri Masalah
Dalam perkembangan dan proses kehidupannya, manusia sangat mungkin menemui berbagai permasalahan, baik oleh individu secara perorangan maupun kelompok. Permasalahan yang dihadapi oleh setiap individu sangat dimungkinkan selain berpengaruh pada dirinya sendiri, juga berpengaruh kepada orang lain atau lingkungan sekitarnya.
Pada hakekatnya, proses pengembangan manusia seutuhnya hendaknya mencapai pribadi-pribadi kediriannya yang matang, dengan kemampuan sosial yang baik, kesusilaan yang tinggi, serta keimanan dan ketakwaan yang dalam. Namun pada kenyataannya, sering dijumpai keadaan pribadi yang kurang berkembang dan rapuh, tingkat kesosialan dan kesusilaan yang rendah, serta tingkat keimanan dan ketakwaan yang dangkal.
Ketidakmampuan setiap individu untuk mewujudkan perkembangan yang optimal pada ke empat dimensi (individualitas, sosialitas, moralitas, dan relegiusitas) tersebut dikarenakan oleh berbagai permasalahan yang dialami selama proses perkembangannya. Masalah merupakan sesuatu atau persoalan yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Masalah yang menimpa seseorang bila dibiarkan berkembang dan tidak segera dipecahkan dapat mengganggu kehidupan, baik dirinya sendiri maupun orang lain. Adapun ciri-ciri masalah adalah sebagai berikut:
1. Masalah yang muncul karena ada kesenjangan antara harapan (das sollen) dan kenyataan (das sein).
2. Semakin besar kesenjangan, maka masalah semakin berat.
3. Tiap kesenjangan yang terjadi dapat menimbulkan persepsi yang berbeda-beda.
4. Masalah muncul sebagai perilaku yang tidak dikehendaki oleh individu itu sendiri maupun oleh lingkungan.
5. Masalah timbul akibat dari proses belajar yang keliru.
6. Masalah memerlukan berbagai pertanyaan dasar yang perlu dijawab.
7. Masalah dapat bersifat individual maupun kelompok.
B. Kriteria Masalah
Pada dasarnya, masalah ditandai oleh adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Namun, tidak semua masalah perlu ditangani melalui pendekatan konseling. Suatu masalah perlu ditangani melalui konseling, bila memenuhi kriteria tertentu. Pada dasarnya, masalah tersebut berasal dari suatu masalah yang cukup serius, cukup mengguncangkan pribadi konseli, masalah tersebut senantiasa mencekam sehingga pikiran dan perasaan konseli tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan berpengaruh terhadap perubahan fisiologik tubuh. Disisi lain, masalah tersebut sudah berada diluar jangkauan konseli untuk mereda, menghalau ataupun untuk menyelesaikannya sendiri. Sementara itu, bila masalah tersebut tidak diatasi maka akan merugikan diri sendiri maupun pihak lain, terjadinya hambatan perkembangan, penyimpangan sikap dan perilaku, salah perilaku dan inadekuat lain.
Selanjutnya, secara sadar konseli butuh bantuan dari orang lain untuk menghadapi, mengatasi, dan memecahkan masalahnya yang berada di luar kemampuannya. Jadi, masalah tersebut perlu digarap dengan cara-cara khusus, cara-cara yang memadai. Dengan kata lain, masalah tersebut diatasi dengan bantuan orang lain yang memiliki kompetensi atau keahlian sesuai dengan karakteristik dan kadar permasalahanya perlu penanganan secara profesional.
Meski masalah tersebut cukup serius dan sifatnya spesifik, menimbulkan ketegangan, kecemasan, ketakutan, frustasi ataupun konflik namun masalah tersebut masih dalam jangkauan profesi bimbingan dan konseling, masih dalam kategori “normal”, belum termasuk “abnormal”. Bila masalah konseli mencapai kadar yang sangat berat, neuosus, diluar jangkauan konselor, maka perlu di “referal” kepada psikologis klinis. Terlebih-lebih bila diagnosa masalah mengidentifikasi adanya simtoma abnormalitas atau psikosis, maka merupakan kewenangan psikiater untuk menanganinya.
Berikut ini adalah kriteria masalah dalam konseling secara prinsip, antara lain:
1. Masalah sebagai kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang tergolong serius, sifatnya khas dan cukup mengguncangkan kehidupan secara sosial maupum pribadi dari konseli. Masalah yang dihadapi oleh konseli itu mempengaruhi kehidupan pribadi maupun sosial dari konselinya.
2. Masalah yang cukup serius itu, selalu mengganggu pikiran dan perasaan, serta masalah tersebut diluar jangkauan subjek untuk mangatasi atau menyelesaikan sendiri. Masalah tersebut adalah suatu masalah dimana konseli sudah merasa tidak mampu untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan dirinya sendiri. Maka, disini konseli membutuhkan bantuan dari konselor untuk membantu salam upaya pemecahan masalahnya tersebut.
3. Bila masalah tersebut tak terpecahkan ataupun tak terselesaikan, maka akan mengakibatkan kerugian bagi subjek maupun pihak lain yang boleh jadi berdampak memunculkan masalah baru. Jika suatu masalah yang dihadapi oleh konseli tidak segera terpecahkan atau terselesaikan, maka masalah tersebut dapat memunculkan suatu masalah yang baru dan akan mengganggu kehidupan dari konseli. Oleh sebab itu, suatu masalah yang dihadapi oleh konseli harus secepatnya dapat terselesaikan dengan baik.
4. Pada gilirannya, konseli butuh bantuan pertolongan untuk memecahkan masalahnya secara memadai, sehingga dapat mengembangkan pribadi yang “balance”, produktif dan sehat. Konseli akan selalu membutuhkan pertolongan bantuan dari seorang konselor dalam upaya pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Setelah memperoleh bantuan dari konselor, maka diharapkan konseli mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal, serta dapat hidup dengan seimbang, produktif, dan sehat.
5. Dengan kata lain, masalah tersebut perlu ditangani secara profesional oleh figur yang kompeten dan berwenang. Dalam menangani suatu permasalahan yang dihadapi oleh konseli memang sudah seharusnya ditangani oleh orang yang profesional dan sudah ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Jika dalam menangani suatu masalah itu tidak ditangani oleh orang yang sudah profesional, maka akan menjadi ketakutan, apabila pemecahannya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh konseli atau tidak sesuai dengan tugas perkembangan dari konseli yang bersangkutan.
6. Akhirnya, masalah yang dimaksud berada dalam ruang lingkup kewenangan konselor yaitu masalah-masalah melanda pada orang-orang normal. Seorang konselor hanya akan membantu memecahkan masalah dari konseli yang masih dalam keadaan normal, atau tidak sedang mengalami gangguan jiwa (abnormal). Jika konseli sudah berada dalam suatu keadaan yang abnormal, maka hal itu sudah tidak menjadi kewenangan dari seorang konselor. Dengan kata lain, masalah itu bisa dialih tangankan kasus ke orang yang lebih ahli, misalnya seorang psikiater.
C. Jenis-Jenis Masalah
Berikut ini ada beberapa masalah yang dialami oleh para remaja di sekolah menengah, antara lain:
1. Masalah emosi
Secara tradisional, masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali, dan kadang kurang tampak irasional. Hal ini dapat dilihat dari gejala yang nampak pada mereka, misalnya mudah marah. Keadaan seperti ini sering kali menimbulkan berbagai permasalahan khususnya dalam kaitannya dengan penyesuaian diri di lingkungannya. Sekolah sebagai lembaga formal yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk membantu subjek didik menuju kearah kedewasaan yang optimal harus mempunyai langkah-langkah konkrit untuk mencegah dan mengatasi masalah emsosional ini. Misalnya dengan memberikan pelayanan khusus bagi siswa melalui program layanan informasi, layanan konseling, layanan bimbingan dan konseling kelompok. Dalam layanan bimbingan dan konseling kelompok, anak dapat berlatih bagaimana cara menjadi pendengar yang baik, bagaimana cara mengemukakan masalah, bagaimana cara mengendalikan diri baik dalam menanggapi masalah sesama anggota maupun saat mengemukakan masalahnya sendiri.
2. Masalah penyesuaian diri
Salah satu tugas yang paling sulit pada masa remaja adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis baik dengan sesama remaja maupun dengan orang-orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Pada fase ini remaja lebih banyak di luar rumah bersama dengan teman-temannya sebagai kelompok, maka dapatlah dipahami jika pengaruh teman sebaya dalam segala pola perilaku, sikap, minat, dan gaya hidupnya lebih besar daripada pengaruh dari keluarga. Perilaku remaja sangat bergantung pada pola-pola perilaku kelompok. Yang menjadi masalah apabila mereka salah dalam bergaul. Dalam keadaan demikian, remaja akan cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan berbagai akibat yang akan menimpa dirinya. Untuk itulah, maka sekolah harus ikut membantu tugas-tugas perkembangan remaja tersebut agar mereka tidak mengalami kesalahan dalam penyesuaian dirinya. Melalui penyediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pembinaan bakat dan minat baik lewat kegiatan ekstrakurikuler maupun kokurikuler di sekolah, hal-hal tersebut diharapkan dapat mencegah dan mengatasi kesalahan pergaulan tersebut. Contoh dari masalah penyesuaian diri ini adalah susah dalam hubungan sosial dan mencari teman.
3. Masalah perilaku seksual
Tugas perkembangan yang harus dilakukan oleh remaja sehubungan dengan kematangan seksualitasnya adalah pembentukan hubungan yang lebih matang dengan lawan jenis dan belajar memerankan peran seks yang diakuinya. Pada masa ini, remaja sudah mulai tertarik pada lawan jenis, mulai bersifat romantis, yang diikuti oleh keinginan yang kuat untuk memperoleh dukungan dan perhatian dari lawan jenis. Sebagai akibatnya, remaja memiliki minat yang tinggi terhadap seks. Seharusnya mereka mencari dan atau memperoleh informasi tentang seluk beluk seks dari orang tua, tetapi pada kenyataannya mereka lebih banyak mencari informasi dari sumber-sumber yang kadang tidak dapat dipertanggungjawabkan, misalnya dari teman sebaya yang sama-sama kurang memahami arti pentingnya seks, dari internet, media elektronik, dan media cetak yang kadang-kadang lebih menjurus ke pornografi. Sebagai akibat dari informasi yang tidak tepat tersebut dapat menimbulkan perilaku seks remaja yang apabila ditinjau dari segi moral dan kesehatan tidak layak dilakukan, misalnya berciuman ataupun masturbasi. Bagi generasi muda sekarang ini, hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang dianggap normal dan benar. Bahkan hubungan seks di luar nikah dianggap benar apabila orang-orang yang terlibat saling mencintai dan saling merasa terikat. Untuk menanggulangi dan mengatasi masalah seperti itu, sekolah hendaknya melakukan tindakan-tindakan yang nyata, misalnya pendidikan seks (seks education).
4. Masalah perilaku sosial
Tanda-tanda masalah perilaku sosial pada remaja dapat dilihat dari adanya diskriminasi terhadap mereka yang berlatar belakang ras, agama, atau sosial ekonomi yang berbeda. Dengan perilaku-perilaku sosial seperti ini, maka akan dapat melahirkan geng-geng atau kelompok-kelompok remaja, yang pembentukannya berdasarkan atas kesamaan latar belakang, agama, suku, dan sosial ekonomi. Pembentukan kelompok atau geng pada remaja tersebut dapat memicu terjadinya permusuhan antar kelompok atau geng. Untuk mencegah atau mengatasi masalah-masalah tersebut, sekolah sebenarnya dapat menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kelompok (baik kurikuler maupun kokurikuler) dengan tidak memperhatikan latar belakang suku, agama, ras, an sosial ekonomi. Sekolah harus mampu memperlakukan siswa secara sama, dan tidak membeda-bedakan siswa yang satu dengan siswa lainnya.
5. Masalah moral
Masalah moral yang terjadi pada remaja ditandai oleh adanya ketidakmampuan remaja dalam membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Hal tersebut dapat disebabkan oleh ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan salah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya antar sekolah, keluarga, ataupun dalam kelompok remaja. Ketidakmampuan membedakan mana yang benar dengan mana yang salah dapat membawa masalah bagi kehidupan remaja pada khususnya dan pada semua orang pada umumnya. Untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah yang demikian, maka sekolah sebaiknya menyelenggarakan berbagai kegiatan-kegiatan keagamaan dan meningkatkan budi pekerti. Contoh dari masalah moral ini adalah mencontek saat ujian.
6. Masalah keluarga
Di dalam sekolah menengah, sering ditemukan berbagai permasalahan remaja yang penyebab utamanya adalah terjadinya kesalahpahaman antara anak dengan orang tua. Seperti yang telah dikemukakan oleh Hurlock (dalam Mugiarso, 2011: 98), sebab-sebab umum pertentangan keluarga selama masa remaja adalah standar perilaku, motode disiplin, hubungan dengan saudara kandung, sikap yang sangat kritis pada remaja, dan masalah palang pintu (perbedaan pendapat). Remaja sering menganggap standar perilaku orang tua yang kuno dan yang modern itu berbeda. Menurut remaja, orang tua yang mempunyai standar kuno harus mampu mengikuti standar yang modern, sedangkan orang tua bersikeras pada pendiriannya semula. Keadaan inilah yang menjadi sumber perselisihan di antara mereka. Metode-metode disiplin yang diterapkan oleh orang tua yang terlalu kaku dan cenderung otoriter akan dapat menimbulkan permasalahan dan pertentangan di antara remaja dan orang tua. Salah satu ciri remaja adalah dimilikinya sikap kritis terhadap segala sesuatu, namun bagi keluarga tertentu sering tidak menyukai sikap remaja yang terlalu kritis terhadap pola perilaku orang tua dan terhadap pola perilaku keluarga pada umumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan masalah keluarga palang pintu adalah peraturan keluarga tentang penetapan jam atau waktu pulang dan mengenai teman-teman dengan siapa remaja itu dapat berhubungan, terutama teman-teman yang lawan jenis. Untuk mencegah dan mengatasi masalah tersebut, maka sekolah harus mampu meningkatkan kerjasama dengan orang tua dari para siswanya.
Prayitno (dalam Mugiarso, 2011: 99) mengelompokkan masalah siswa di sekolah menengah menjadi empat kelompok besar, yaitu:
1. Masalah yang berhubungan dengan dimensi keindividualan, masalah ini berkaitan dengan pribadi (diri sendiri) dari siswa yang bersangkutan.
2. Masalah yang berhubungan dengan dimensi kesosialan, masalah berkaitan dengan bagaimana seorang siswa mampu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
3. Masalah yang berhubungan dengan dimensi kesusilaan, masalah ini berkaitan dengan moral para peserta didik (siswa) pada sekolah menengah.
4. Masalah yang berhubungan dengan dimensi keberagamaan, masalah ini berkaitan dengan ras, suku, dan agama dari masing-masing peserta didik (siswa) pada sekolah menengah.
D. Kesimpulan
Pada hakekatnya, setiap manusia senantiasa ingin mewujudkan kebahagiaan dalam hidupnya. Akan tetapi pada kenyataannya, manusia sangat mungkin menemui berbagai permasalahan yang dapat menghambat dan menggangu tercapainya kebahagaiaan tersebut. Demikian juag bagi subjek didik yang berada pada tingkat pendidikan sekolah menengah yang sedang berada dalam fase masa perkembangan remaja juga mengalami berbagai permasalahan hidup, yang apabila dibiarkan akan mengganggu dan menghambat tercapainya tujuan pendidikan yang sedang dilaluinya. Terdapat berbagai jenis masalah yang dialami oleh siswa sekolah menengah, diantaranya adalah masalah yang berhubungan dengan dimensi-dimensi kehidupan remaja, yaitu masalah yang bersifat individualitas, sosialitas moraritas, dan keagamaan serta ketakwaan. Dengan demikian, kehadiran layanan bimbingan dan konseling (BK) dalam sekolah, khususnya pada sekolah menengah ini sangat bermanfaat demi tercapainya kehidupan peserta didik yang lebih baik dan agar peserta didik mampu mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Namun, kewenangan seorang konselor untuk membantu konselinya dalam menyelesaikan masalah berada dalam kriteria masalah yang masih normal, bukan kriteria masalah yang sudah abnormal.
DAFTAR PUSTAKA
Mugiarso, Heru. 2011. Bimbingan dan Konseling. Semarang: Pusat Pengembangan
MKU/MKDK-LP3 UNNES.
Supriyo dkk. 2003. Bimbingan dan Konseling. Semarang: Perc. Swadaya Manunggal
Semarang.