Posted by : Unknown Minggu, 12 Oktober 2014


14131238861120400279 
 
Bung Karno Smudge Painting. (Dok. Nanda Utumb/nandautumb.wordpress.com)
Andai saja Ahmad Dhani hidup di zaman demokrasi terpimpin, pasti sudah ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara. Walaupun meniru-niru Bung Karno menggunakan kopiah, tapi pakaian yang dikenakan meniru model tentara Nazi, dianggap haram hukumnya. Ditambah potongan rambut model punk dan mengidolakan the Beatles. Group Koes Plus sudah merasakan tak nyaman hidup dalam hotel prodeo. Alasan kebebasan berekspresi dan kehendak individual, dimata Bung Karno cerminan ajaran liberal yang najis. Terlebih-lebih dengan gaya hidup berfoya-foya. Perhelatan pernikahan di hotel mewah. Memamerkan mobil lamborgini. Atau mengenakan jam rolex saat berpidato. Bagi Bung Karno, itu semua tidak mencerminkan karakter bangsa merdeka.
Ajaran Bung Karno tidak sekedar dituliskannya dalam risalah dan buku-buku. Tidak sekedar menjadi bahan pidato di atas mimbar. Tidak sekedar menjadi konsepsi. Tapi dijalankan dengan konsisten. Diterapkan dalam semua prikehidupan. Ajaran yang meneguhkan adanya karakter bangsa yang merdeka, bebas dari cengkraman penjajahan. Satu bentuk revolusi Indonesia untuk membangun nasionalisme yang sehebat-hebatnya. Bagi Bung Karno, pembangunan karakter bangsa harus melingkupi seluruh bidang. Tidak sekedar urusan agama dan ahlak. Oleh karena itu gangguan dan godaan yang merusak karakter bangsa dicap sebagai kontra revolusi.
Pedoman dan tuntutan pembentukan karakter manusia Indonesia yang memiliki kepribadian yang cinta tanah air, dapat kita lihat beberapa diantaranya:
  1. Dilarang menyemir rambut dan meniru model potongan rambut dari artis asing. Pada masa itu, pemerintah melarang beredarnya potongan rambut model the Beatles yang sedang menjamur di kalangan masyarakat.

  2. Dilarang mengkonsumsi produk import dan dianjurkan memakai produk local. Sebagai contoh, masyarakat tidak diperkenankan mengkonsumsi burger.

  3. Melarang beredarnya lagu-lagu yang bersifat mellow/cengeng, serta lagu-lagu dari luar negeri.

  4. Menganjurkan masyarakat untuk mendengarkan dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan yang bersifat nasionalisme.

  5. Dilarang meniru gaya pakaian dari Negara lain.

  6. Melarang peredaran celana jeans dan menganjurkan masyarakat untuk memakai pakaian tradisional.

  7. Menganjurkan penggunaan Bahasa Indonesia.

  8. Pelestarian kesenian tradisional.
Bagi Bung Karno perilaku seperti itu bukan saja bias liberal tetapi cerminan bangsa kuli, bangsa terjajah. Mengagungkan produksi negara lain dan sinis dengan produksi bangsa sendiri. Bila dikontekskan dengan situasi sekarang, kira-kira pengandaiannya seperti ini. Orang lebih bangga menggunakan produk import (sepatu, jam tangan, baju bermerk, perhiasan, automobil, tas, dll) ketimbang produksi anak bangsa sendiri. Orang suka memamerkan plesiran ke luar negri (di depan menara eifel, big ben, atau jembatan san fransisco) ketimbang danau toba atau bunaken. Dianggap hebat jika bisa menyantap KFC ketimbang warung tegal. Berobat ke Singapura dianggap sebagai prestise. Pendek kata, lebih bangga diposisikan sebagai bangsa kuli. Memakan, menggunakan produksi negara lain. Uang habis dibelanjakan untuk hal-hal yang konsumtif dan yang mendapat keuntungannya adalah bangsa lain.
Sementara bangsa lain menanamkan nasionalisme di pikiran rakyatnya. Bangsa Jepang yang terkenal dengan produksi outomobil terbesar di dunia, lebih senang menggunakan sepeda dan angkutan umum. Lebih memilih pisau buatan Okinawa meskipun mahal ketimbang pisau buatan Swiss atau Jerman. Bangsa China bekerja hampir 18 jam sehari untuk memproduksi barang. Tapi pelit untuk membelanjakan uangnya membeli produk import. Walaupun makanan siap saji seperti Pizaa Hut atau McDonald ada di sana. Produksi kosmetik dan gaun beraneka gaya tak laku di Iran. Dimana para wanitanya hanya cukup menggunakan pakaian bercadar warna hitam. Inilah bentuk-bentuk “perlawanan” bangsa lain yang tidak ingin menjadi bangsa kuli. Dijajah dengan produksi import dari negara lain.
Bagi pemerintahan China, perbuatan korupsi bukan semata perbuatan melanggar hukum. Tapi prilaku korup akan merusak karakter bangsa yang giat bekerja dan berkarya. Jika ingin makmur dan hidup kaya, giatlah bekerja. Hemat mengkonsumsi dan rajin memproduksi. Korupsi menjadikan mental masyarakat rusak. Rencana pemerintah untuk mempercepat laju ekonomi dengan giat berproduksi dihambat oleh penyakit korup ini. Dalam kacamata Bung Karno, bisa dianggap kontra revolusi. Oleh karena itu bibit ini tidak boleh tersebar dan harus dihancurkan.
Alasan-alasan individual tidak bisa dibenarkan atas nama kebebasan. Bung Karno menyebutnya sebagai racun liberal. Seperti pendapat, “suka-suka gua, duit gua ini”. Bahkan negara-negara yang dianggap liberal sekalipun menjauhi pikiran semacam itu. Ada ilustrasi: seorang teman terkena denda 10 euro oleh polisi Jerman karena menyisakan 1/3 makanan yang dia pesan di suatu restoran. Teman itu beralasan, “terserah saya, mau menghabiskan atau tidak. Dibeli menggunakan uang saya sendiri”. Tapi polisi Jerman mengatakan, “anda berhak menggunakan uang anda. Tapi makanan yang tidak anda habiskan berasal dari sumberdaya alam negri ini. sumberdaya alam itu bukan milik anda, tapi milik semua rakyat Jerman. Tak patut anda membuang percuma sumberdaya alam milik semua rakyat”. Rupanya Indonesia lebih liberal pemikirannya ketimbang bangsa yang dianggap liberal.
Revulosi mental harus dijalankan berkait dengan tantangan pemberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean yang akan dimulai tahun 2015. Dimuai dengan mendorong menjadi bangsa yang gemar berproduksi dan mengerem konsumsi. Amerika yang pernah mengalami krisis di tahun 2007, mengakibatkan rakyatnya harus menghemat belanja dan pengeluaran yang tidak perlu. Dalam waktu singkat, krisis bisa diatasi. Di Indonesia, saat BBM naik, orang hanya kaget selama tiga bulan. Setelahnya permintaan akan automotif malah meningkat. Jumlah penduduk Indonesia 251 juta jiwa tapi peredaran gadget sudah mencapai 280 juta. Berganti-ganti hape adalah prilaku konsumtif bangsa Indonesia yang sangat digemari oleh produsen seperti Korea dan China.
Menurut saya, pemerintah harus menghentikan iklan di media terutama televisi yang menawarkan barang-barang mewah. Karena akan mendorong orang untuk hidup pamer penuh kemewahan. Sinetron-sinetron yang mengajarkan kehidupan mewahpun harus dihentikan. Sebaliknya memberi fasilitas dan kemudahan untuk memasarkan dan promosi barang lokal buatan bangsa sendiri. Prilaku-prilaku hedonis para pesohor harus dihukum karena tidak memberi pendidikan yang baik bagi bangsa ini. Secara ekonomis (sebagaimana China) jika bangsa ini gemar dan giat berproduksi dan pelit mengkonsumsi, maka akan ada peningkatan devisa negara. Kesejahteraan rakyat akan cepat terwujud. Secara filosofis, seperti kata Bung Karno akan menjadikan bangsa ini bangsa yang merdeka, mandiri dan percaya diri bukan bangsa terjajah dan bangsa kuli.
 
sumber: http://sosbud.kompasiana.com

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Blogger templates

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Social Icons

- Copyright © PSIKOLOGI PENDIDIKAN BIMBINGAN -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -